Home Mengasah Spiritual Mencerdaskan Intelektual: SISI LAIN DARI HARI RAYA QURBAN

2012/06/13

SISI LAIN DARI HARI RAYA QURBAN


SISI LAIN DARI HARI RAYA QURBAN
(Buletin At-Tajdid, Edisi II, 25 Nopember 2009 M / 8 Dzulhijjah 1430 H)
BY: Zulkifli, S.Pd.I

Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu hari besar Islam di mana pada hari itu gema takbir, tahmid, taqdis, dan tahlil berkumandang di setiap penjuru dunia Islam sampai menerobos ke angkasa raya. Itu suatu pertanda kebesaran dan keagungan sang Pencipta yaitu Allah SWT.
Ucapan TAKBIR, adalah mendidik hati kaum muslimin agar jangan bersifat angkuh dan sombong, apapun pangkat dan jabatan yang dipikul di atas pundaknya, bagaimanapun banyak harta benda dan kekayaan yang dimiliki, namun dia menyadari bahwa dirinya itu sangat kecil, lemah, dan terbatas. Hanya Allahlah Yang Maha Besar dan Maha Agung.
Ucapan TAHMID, adalah menganjurkan  kita  untuk  senantiasa memuji dan mensyukuri nikmat karunia Allah yang dianugerahkan kepada kita. Hanya Allahlah yang paling berhak untuk dipuji dan disanjung.
Ucapan TAQDIS, adalah suatu peringatan kepada kita semua sesungguhnya Allah SWT Maha Suci dari sekutu-sekutu-Nya dan Maha Suci dari sifat-sifat kekurangan. Tidak ada suatu makhluk pun yang bersifat cukup dan sempurnya. Seluruh makhluk adalah faqir karena semuanya sangat berhajat kepada pertolongan dan perlindungan Allah SWT.
Ucapan TAHLIL, adalah mengajarkan kita untuk selalu ingat kepada Allah SWT di setiap hembusan nafas dan kedipan mata. Tahlil mendidik kita untuk bertauhid atau mengesakan Allah. Tahlil dapat menebus dosa-dosa yang telah kita lakukan dan memberatkan timbangan amal kebajikan kita.
Hari Raya Idul Adha atau sering disebut hari Raya Qurban, karena pada hari itu sangat dianjurkan kepada kaum muslimin yang memiliki kelebihan untuk melaksanakan ibadah qurban sebagaimana diperintahkan kepada Nabi Ibrahim AS.
Adapun sejarah diperintahkannya berkurban itu dimulai pada masa Nabi Ibrahim AS. Saat itu Nabi Ibrahim AS mendapat mimpi bahwa ia harus menyembelih Ismail puteranya yang baru menginjak usia remaja. Sebagai seorang ayah yang dikaruniai seorang putera yang sejak puluhan tahun diharap-harapkan dan didambakan, seorang putera yang diharapkan menjadi pewarisnya dan penyampung kelangsungan keturunannya, seorang putera yang menjadi buah hati tumpuan harapannya, tiba-tiba harus dijadikan qurban dan harus direnggut nyawanya oleh tangan si ayah sendiri.
Namun ia sebagai seorang Nabi, pesuruh Allah dan pembawa agama yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi para pengikutnya dalam bertaat kepada Allah, menjalankan segala perintah-Nya dan menempatkan cintanya kepada Allah di atas cintanya kepada anak, isteri, harta benda dan lain-lain. Ia harus melaksanakan perintah Allah yang diwahyukan melalui mimpinya, apa pun yang akan terjadi sebagai akibat pelaksanaan perintah itu.
Nabi Ismail sebagai anak yang saleh yang sangat taat kepada Allah dan bakti kepada orang tuanya, ketika diberitahu oleh ayahnya maksud kedatangannya kali ini tanpa ragu-ragu dan berfikir panjang ia berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku insya-Allah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah. Kemudian dipeluknyalah Ismail dan dicium pipinya oleh Nabi Ibrahim seraya berkata: "Bahagialah aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua yang dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah."
Saat penyembelihan yang mengerikan telah tiba. Diikatlah kedua tangan dan kaki Ismail, dibaringkanlah ia di atas lantai, lalu diambillah parang tajam yang sudah tersedia dan sambil memegang parang di tangannya, kedua mata nabi Ibrahim yang tergenang air mata berpindah memandang dari wajah puteranya ke parang yang mengkilat di tangannya, seakan-akan pada masa itu hati beliau menjadi tempat pertarungan antara perasaan seorang ayah di satu pihak dan kewajiban seorang rasul di pihak yang lain. Pada akhirnya dengan memejamkan matanya, parang diletakkan pada leher Nabi Ismail dan penyembelihan dilakukan. Akan tetapi apa daya, parang yang sudah demikian tajamnya itu ternyata menjadi tumpul dileher Nabi Ismail dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan sebagaimana diharapkan.
Dalam keadaan bingung dan sedih hati, karena gagal dalam usahanya menyembelih puteranya, datanglah kepada Nabi Ibrahim wahyu Allah dengan firmannya: "Wahai Ibrahim! Engkau telah berhasil melaksanakan mimpimu, demikianlah Kami akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikan." Kemudian sebagai tebusan ganti nyawa Ismail yang telah diselamatkan itu, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih seekor kambing yang telah tersedia di sampingnya dan segera dipotong leher kambing itu oleh beliau dengan parang yang tumpul di leher puteranya Ismail itu. Dan inilah asal permulaan sunnah berqurban yang dilakukan oleh umat Islam pada tiap hari raya Idul Adha di seluruh pelosok dunia.
Penulis yakin bahwa penjelasan di atas sudah sering disampaikan oleh para Khatib di dalam khotbah Idul Adha. Akan tetapi, ada sisi lain yang sering kita lupakan dalam memaknai Hari Raya Qurban yaitu penerapan nilai-nilai qurban di dalam kehidupan kita sehari-hari. Berqurban (baca “berkorban”) tidak hanya terbatas pada harta benda, tapi lebih luas dari itu, berkorban mencakup tenaga, pikiran, dan perasaan.
Berkorban tenaga, berarti kita mengerahkan tenaga yang kita miliki untuk berdakwah demi kemajuan Islam, misalnya: sebagai seorang guru seyogianya mengorbankan tenaganya demi mencapai hasil pembelajaran yang maksimal. Hal ini harus dilakukan dengan ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah, bukan untuk kenaikan gaji atau penambahan tunjangan.
Berkorban pikiran, sebagai seorang guru, menyumbangkan atau mengorbankan pikiran demi kemajuan pendidikan sudah menjadi hal yang lazim. Dalam proses pembelajaran, seorang guru dituntut untuk berpikir maju dan kreatif demi memperoleh pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan mandiri (PAIKEM).
Begitu juga, sebagai seorang guru mengorbankan perasaan adalah suatu hal yang tak bisa terelakkan karena dalam proses belajar mengajar, pasti terdapat berbagai problem. Baik itu problem yang berasal dari siswa, problem dari sekolah, maupun problem yang datang dari diri guru itu sendiri. Problem-problem itu tidak terhenti di dalam kelas saja, tetapi sering sekali problem-problem itu mengganggu ketenangan seorang guru, menyakiti perasaannya, dan bahkan selalu menjadi beban pikirannya. Sebagai seorang guru yang profesional, hal semacam ini harus disikapi dengan bijak, berpikiran positif, dan mencari solusi-solusi terbaik demi kelancaran proses pembelajaran.
Jangan sampai terjadi sebaliknya, misalnya, seorang guru yang mengajar di sekolah swasta yang notabene gajinya itu “pas-pasan” tidak mau memaksimalkan tenaga dan pikirannya untuk kemajuan pendidikan di sekolah tersebut. Apalagi sebagai guru negeri yang ditugaskan mengajar di sekolah swasta, kemudian enggan melaksanakan tugas dengan semestinya atau tidak mau bekerja maksimal karena beranggapan bahwa bagaimanapun dia bekerja ekstra, toh juga tidak akan mendapatkan apa-apa dari pihak sekolah, tidak akan menambah gajinya, dan tidak pula dapat menaikkan pangkatnya. Bila virus seperti ini menyerang guru-guru kita di sekolah ini, maka perubahan dan kemajuan sekolah yang selalu kita cita-citakan tidak akan pernah terwujud.
Seyogianya sebagai seorang guru rela mengorbankan tenaga, pikiran, dan perasaannya untuk kemajuan sekolah dengan niat yang ikhlas semata-mata mengharapkan ridho Allah SWT. Bukan karena ingin dipuji oleh orang lain, ingin dinaikkan gajinya, atau ingin naik pangkat. Kalau pengorbanan itu kita lakukan dengan ikhlas, insya Allah kita akan mendapatkan ganjaran yang lebih dari Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Semoga kita tergolong sebagai hambanya yang mukhlis. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

No comments:

Post a Comment